Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp RakyatNTT.ID
+ Gabung
Pendahuluan: Antara Slogan dan Kenyataan
Istilah “pendidikan karakter” telah menjadi bagian dari doktrin pendidikan nasional Indonesia. Sejak peluncuran Kurikulum 2013 dan berlanjut dalam Kurikulum Merdeka, pendidikan karakter diangkat sebagai solusi dari krisis moral generasi muda (Kemendikbud, 2017). Namun, di balik geliat program dan pelatihan, ada ironi yang mengganggu: pendidikan karakter sering kali hanya menjadi kosmetik retorika di atas sistem pendidikan yang manipulatif, hierarkis, dan jauh dari nilai-nilai luhur yang hendak diajarkan.

1. Retorika Pendidikan Karakter: Agenda yang Belum Menyentuh Akar
Menurut Lickona (1991), pendidikan karakter tidak hanya tentang mengajarkan nilai, tetapi menanamkannya dalam tindakan dan budaya. Namun, banyak sekolah di Indonesia, terutama di daerah tertinggal, menerapkan pendidikan karakter secara simbolik—menghafalkan nilai Pancasila atau slogan kejujuran, tetapi membiarkan praktik ujian dibumbui kecurangan massal (Suyatno et al., 2019). Dalam laporan Kemendikbud (2020), ditemukan bahwa lebih dari 30% sekolah masih melakukan manipulasi data hasil belajar demi “prestasi administratif”.
Ketika karakter dibatasi sebagai kompetensi yang diajarkan dalam jam pelajaran tertentu, padahal nilai sejati dibentuk lewat relasi dan keteladanan, maka hasilnya adalah generasi yang tahu tentang nilai, tetapi tidak tergerak untuk menjalaninya.


WA Channel
Ikuti Kami
Subscribe
Tinggalkan Balasan