Dalam banyak kasus, perempuan sendirian menanggung beban, sementara laki-lakinya hilang tanpa jejak. Ironisnya, masyarakat justru lebih cepat menghakimi perempuan, seolah mereka satu-satunya yang bersalah.

Ada juga yang berkata, “Kalau tidak mau tanggung jawab, ya jangan berhubungan.” Kalimat itu terdengar benar, tetapi sebenarnya bias. Ia menempatkan perempuan sebagai sumber masalah dan melupakan bahwa hubungan itu selalu melibatkan dua pihak.

Lebih menyedihkan lagi, tidak jarang perempuan ikut memelihara cara pandang patriarkal dengan membenarkan kekerasan yang menimpa sesama perempuan. Mereka bahkan berkata bahwa perempuan pantas disalahkan atas nasibnya sendiri.

Ada pula yang bersembunyi di balik ayat suci untuk membenarkan penghakiman terhadap perempuan lain. Padahal Yesus sendiri pernah berkata, “Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan laki-laki, melainkan untuk mengingatkan agar mereka tidak merasa berkuasa atas perempuan. Laki-laki dan perempuan seharusnya berjalan berdampingan, saling menghormati, dan saling mendukung.

Perempuan pun jangan mau terperangkap dalam jerat patriarki yang dikemas dengan nama “kodrat”. Dalam setiap hubungan, baik pacaran, pernikahan, maupun rumah tangga, semua keputusan seharusnya didasarkan pada kesepakatan bersama, bukan keinginan satu pihak saja.