KEKERASAN terhadap perempuan dan anak bukan sekadar headline lokal. Ia adalah luka kolektif yang membayangi masa depan sebuah komunitas. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), data tahun-tahun terakhir menunjukkan gambaran yang mengkhawatirkan dan menuntut tindakan cepat serta berkelanjutan.

Menurut catatan Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP), sepanjang tahun 2024 tercatat 70 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Kabupaten TTS, angka ini belum termasuk kasus yang hanya ditangani internal desa atau yang belum dilaporkan ke lembaga pendamping lainnya (SuaraTTS.com 03/10/2025).

Sumber lain yang memantau trend regional melaporkan bahwa pada semester kedua 2024 Kabupaten TTS mencatat puluhan hingga ratusan kasus, data lapangan yang berbeda antar lembaga ini menandakan dua hal: angka kekerasan memang tinggi, dan selama ini terdapat perbedaan pencatatan serta keterbukaan pelaporan yang membuat gambaran resmi seringkali tidak utuh (Katong NTT 29/10/2024).

Lebih memprihatinkan lagi, pernyataan pejabat daerah dan peluncuran sistem pelaporan lokal mengungkapkan pola korban yang sangat muda: Bupati TTS menyebut sekitar 60% kasus melibatkan usia dini dan sekitar 43% korban berada pada rentang usia PAUD–SMP dalam beberapa rangkaian data publik yang disampaikan sepanjang 2024–2025. Dalam beberapa bulan terakhir (2025) pemerintah kabupaten merilis aplikasi pelaporan SIPETIK-PPA sebagai respons untuk memudahkan pelaporan oleh masyarakat (Kompas86.com, 26/07/2025; Jejakhukum.com, 25/07/2025).