DALAM beberapa hari terakhir, media sosial Indonesia muncul dengan wajah ganda: gegap gempita di satu sisi dan masygul di sisi lain. Pemicunya, antara lain, berita ini: Presiden Prabowo memberikan amnesti (pengampunan) kepada Hasto Kristiyanto (HK), Sekjen PDIP, dan abolisi (penghapusan hukuman) kepada Tom Lembong (TL), mantan Menteri Perdagangan. Melalui amnesti dan abolisi itu, proses hukum keduanya dihentikan.

Keduanyapun bebas. Ini, sontak, membuat para pendukungnya bersuka cita. Padahal, oleh hakim, keduanya dihukum masing-masing 3,5 dan 4,5 tahun penjara. HK untuk tindak pidana penyuapan pergantian antarwaktu anggota DPR; TL untuk kasus dugaan korupsi impor gula.

Di sisi lain, bagi (banyak?) orang lain, pembebasan keduanya dinilai mencederai rasa keadilan, melukai gerakan reformasi yang mengedepankan “equality before the law”, dan, mengkhianati perjuangan untuk menciptakan “civil society” tanpa korupsi. Itu sebabnya, amnesti dan abolisi itu, bagi mereka, menimbulkan rasa kesal hingga meneteskan air mata duka.

Di tengah dua kondisi yang berseberangan itu, Presiden, kita tahu, memang, dapat memberikan amnesti dan abolisi setelah mendapat persetujuan DPR. Itu perintah Pasal 14, Ayat 2, UUD 1945: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.” Presiden telah meminta persetejuan DPR untuk memberikan amnesti dan abolisi itu; DPR menyetujuinya. Berdasarkan itu, ada abolisi bagi TL dan amnesti bagi HK (Baca, misalnya, Dian Dewi Purnamasari, “Pembebasan Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, Salah Obat Penanganan Kasus Politisasi Hukum?” Kompas.id. 1 Agustus, 2015).