DI Indonesia, label “akreditasi A” atau “unggul” sering menjadi kebanggaan institusi pendidikan. Plakatnya dipajang, sertifikatnya diumumkan, dan nilainya dijadikan alat promosi. Tapi, benarkah predikat itu mencerminkan mutu yang sesungguhnya? Atau justru hanya sekadar stempel formalitas seremoni lima tahunan yang jauh dari denyut kehidupan nyata di ruang kelas? Pertanyaan ini makin relevan ketika banyak sekolah berstatus ‘unggul’ justru gagal membuktikan dampak nyata pada hasil belajar dan karakter siswa.

Laporan Rapor Pendidikan Indonesia 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% sekolah yang mendapat akreditasi A ternyata memiliki capaian literasi dan numerasi siswa di bawah standar minimum. Ini menunjukkan adanya disonansi antara “mutu di atas kertas” dan “mutu yang dialami siswa di kelas”.

Temuan World Bank (2022) menyatakan bahwa sistem akreditasi di banyak negara berkembang kerap bersifat simbolik dan gagal mendeteksi kualitas riil pembelajaran. Penilaian terlalu menekankan dokumentasi dan infrastruktur, bukan praktik pembelajaran kontekstual dan berdampak. Profesor Michael Fullan (2020) mengingatkan bahwa sistem mutu sejati harus hidup di ruang kelas. “Jika mutu tidak hidup dalam pikiran siswa, maka seluruh sistem hanya menjadi birokrasi tanpa jiwa.”