KEPEMIMPINAN dalam dunia pendidikan bukan sekadar soal kekuasaan atau jabatan, melainkan tentang melayani dengan hati. Dalam situasi pendidikan di daerah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana banyak sekolah dasar menghadapi tantangan keterbatasan infrastruktur, minimnya dukungan tenaga pendidik, hingga tekanan sosial ekonomi yang tinggi, dibutuhkan model kepemimpinan yang bukan hanya kuat secara manajerial, tetapi juga rendah hati dan berbelarasa.

Di sinilah model kepemimpinan servant atau kepemimpinan melayani menemukan relevansinya yang paling hakiki. Robert K. Greenleaf (1977), pencetus teori ini, menekankan bahwa pemimpin sejati adalah pelayan terlebih dahulu ia hadir bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani dan memampukan orang lain tumbuh.

Mengakar pada Budaya: Servant Leadership dalam Kearifan Lokal NTT

Jika kita tilik lebih dalam, nilai-nilai dalam servant leadership sebenarnya sangat selaras dengan warisan budaya masyarakat NTT. Misalnya, dalam budaya Rote dikenal pepatah, “Ana lole do lete, ina seko do nese” anak dibesarkan dengan cinta, ibu membimbing dengan kelembutan. Pepatah ini menggambarkan model kepemimpinan yang penuh kasih, sabar, dan membangun.

Begitu juga dalam budaya Sabu, ada nilai “muti meha, wia ledo”, yang berarti: hidup bersama dalam damai dan saling menolong. Ini menekankan prinsip egaliter, kekeluargaan, dan pelayanan yang mendahulukan kebaikan bersama di atas ego pribadi.