Yogyakarta, RakyatNTT.ID – Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, memperingatkan bahwa kerusakan akibat pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, telah menyebabkan kerugian negara yang secara nominal bahkan lebih besar daripada dampak kasus tata niaga timah oleh PT Timah Tbk.

Menurut Fahmy, kekayaan hayati Raja Ampat yang terdiri dari flora dan fauna langka, tidak ternilai dan tidak bisa direklamasi setelah rusak.

“Kalau ikan langka punah, itu tidak bisa dikembalikan. Nilai ekologisnya tak tergantikan, dan kerugiannya bisa mencapai lebih dari Rp300 triliun,” ujar Fahmy dalam pernyataannya, Rabu (11/6/2025).

Fahmy merujuk pada kasus PT Timah di mana kerugian akibat kerusakan lingkungan mencapai Rp271 triliun. Namun menurutnya, kerusakan di Raja Ampat bisa jauh lebih besar karena dampaknya terhadap ekosistem laut global.

Selain itu, Fahmy menilai pencabutan empat dari lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Presiden Prabowo Subianto adalah langkah awal yang baik, tapi belum cukup. Ia mendesak pemerintah untuk menutup total operasi PT GAG Nikel (GN).

“Jarak tambang Pulau Gag dengan pusat konservasi utama 40 kilometer tidak relevan. Debu tambang bisa terbawa angin hingga ratusan kilometer dan mengandung arsenik berbahaya,” tegasnya.