Di banyak desa di Nusa Tenggara Timur (NTT), air bersih masih lebih mudah ditemukan di iklan kampanye ketimbang di halaman rumah. Ketika musim kemarau datang, sumur mengering, dan ibu-ibu harus berjalan jauh hanya untuk mendapatkan seember air. Di tengah kesulitan itu, anak-anak tumbuh dengan gizi terbatas, memperpanjang lingkaran stunting yang seolah tak pernah berakhir.

Padahal, sudah puluhan program pemerintah digulirkan—dari Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, Program Indonesia Sehat, hingga Intervensi Serentak Penurunan Stunting. Namun, angka stunting di NTT tetap tinggi. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023 mencatat prevalensi stunting di NTT mencapai 37,9 persen, tertinggi kedua secara nasional setelah Papua. Angka ini hanya turun tipis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, meski dana miliaran rupiah digelontorkan.

Akar Masalah: Air, Akses, dan Ketimpangan

Masalah gizi di NTT bukan sekadar soal makanan, tetapi menyangkut ketimpangan struktural yang lebih dalam: akses terhadap air bersih, layanan kesehatan, pendidikan, dan kemiskinan yang mengakar.
Data BPS NTT (Maret 2024) menunjukkan tingkat kemiskinan mencapai 19,48 persen, tertinggi di Indonesia bagian timur. Di banyak kabupaten seperti Manggarai Timur, Flores Timur, dan Sumba Barat Daya, 1 dari 5 keluarga masih hidup di bawah garis kemiskinan.