TAHUN ajaran baru bukan lagi sekadar soal semangat belajar, tetapi telah menjadi simbol ketimpangan struktural dalam dunia pendidikan kita. Di berbagai daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur—baik di pusat kota seperti Kupang maupun daerah penyangga seperti Kabupaten Kupang, TTS, TTU, dan Flores Timur keluhan tentang pungutan sekolahdan ketimpangan kesejahteraan guru terus mengemuka.

Pendidikan kita mengalami dua krisis sekaligus: mahal di sisi biaya, dan miskin di sisi keadilan.

Pungutan Sekolah: Latah, Masif, dan Tidak Transparan

Dari pengamatan lapangan dan laporan warga, praktik pungutan tidak hanya terjadi di Kota Kupang, tetapi juga menyebar di banyak sekolah negeri maupun swasta di kabupaten lain:

  • Di SMAN 5 Kota Kupang, siswa baru dipungut Rp2,2 juta, termasuk “sumbangan delapan standar pendidikan” senilai Rp900.000¹. Padahal sekolah ini menerima Dana BOS dan DAK.
  • SMAN 3 Kota Kupang menarik pungutan pembangunan lapangan senilai Rp500 juta, dengan kontribusi orang tua mencapai Rp550 ribu per siswa².
  • Di sekolah swasta wilayah Kelapa Lima, paket seragam wajib dijual Rp1,8 juta³. Hal serupa juga terjadi di beberapa sekolah swasta di Soe, Larantuka, dan Bajawa (berdasarkan temuan awal penulis dan pengaduan orang tua murid).
  • Di banyak SD swasta, biaya daftar ulang dipatok antara Rp600.000–Rp900.000, namun tidak ada laporan pertanggungjawaban penggunaan dana⁴.

Pola ini menunjukkan bahwa praktik pungutan telah menjadi “budaya laten” yang dilegalkan atas nama “kesepakatan komite sekolah”. Padahal, dalam banyak kasus, rapat komite tidak benar-benar mewakili suara orang tua.

Guru: Pendidik yang Masih Bertahan di Garis Batas

Yang lebih menyakitkan, pungutan-pungutan itu tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan guru. Di NTT, guru honorer dan guru swasta masih hidup dalam kemiskinan terstruktur:

  • Guru di sekolah swasta kecil di Alak, Maulafa, dan Oebobo digaji Rp400.000–Rp600.000 per bulan. Situasi serupa terjadi di Pulau Semau, Amarasi Barat, dan Adonara Timur, di mana guru tidak memiliki akses BPJS, tidak menerima THR, dan kerap dibayar tidak tetap.
  • Guru honorer di sekolah negeri banyak yang digaji di bawah UMK kabupaten/kota. Bahkan ada guru yang mengajar di dua sekolah demi memenuhi kebutuhan hidup dasar.

Kondisi ini bukan sekadar “keprihatinan moral”, tapi kegagalan tata kelola pendidikan di tingkat provinsi. Bagaimana mungkin guru di provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah nasional, justru menjadi kelompok yang paling diabaikan?

Pendidikan atau Pasar?

Sekolah di NTT kini menghadapi gejala komersialisasi yang tak terkendali:

  • Seragam dikelola seperti tender
  • Buku dipaketkan lewat koperasi
  • Ekskul dan kegiatan rohani diberi tarif tetap
  • Bahkan kegiatan ibadah, study tour, dan rekoleksi pun tak lepas dari pungutan

Situasi ini menciptakan hubungan yang timpang: siswa sebagai pelanggan, orang tua sebagai investor, guru sebagai pekerja murah, dan kepala sekolah sebagai manajer keuangan. Pendidikan kehilangan rohnya sebagai alat pembebasan.

Pemprov NTT Harus Ambil Alih Kepemimpinan Moral

Selama ini, pengawasan terhadap pungutan dan pengelolaan sekolah cenderung didelegasikan ke kabupaten/kota. Namun masalah ini bukan semata tanggung jawab dinas tingkat dua. Pemerintah Provinsi NTT memiliki peran strategis dan konstitusional untuk menjamin bahwa seluruh anak dan guru di wilayahnya mendapat perlindungan dan keadilan.