Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp RakyatNTT.ID
+ Gabung
“BRAIN rot” atau “pembusukan otak” adalah sebuah kondisi ketika seseorang kehilangan fokus dan mengalami, secara sadar atau tidak, kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif yang melemah. Itu terjadi karena orang itu menggunakan media sosial seperti Tiktok, YouTube, WhatsApp dan Facebook secara berlebihan untuk memperoleh informasi yang kurang berguna atau, bahkan, tidak penting sama sekali (baca, misalnya, Luki Aulia, Kompas.id. 3 Desember, 2024).
Kehilangan fokus dan pelemahan kompetensi tersebut, pada gilirannya, membuat pengguna informasi yang tak penting dari media sosial itu menjadi pasif. Tidak produktif. Daya kritisnya hilang dan, karena itu, kreativitasnya mati suri, termasuk untuk berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang lain yang lebih mumpuni. Bagi si penderita “brain rot“, informasi ringan dari media sosial sudah lebih dari cukup. Karena itu, dia merasa tidak perlu mencari informasi lain yang, dalam dunia nyata, sesungguhnya lebih penting dan lebih bernilai; baginya, informasi yang diterimanya benar tanpa harus dicek.
Sampai pada titik ini, tampaknya, tidak ada yang salah dengan istilah “brain rot” itu. Namun, persoalannya adalah apakah penggunaan media sosial secara berlebihan, untuk hal-hal yang kurang bernilai itu, begitu parah akibatnya, sehingga menimbulkan “pembusukan otak“ – Otak siapa saja yang menggunakan media sosial secara tak terkontrol secara umum, otak para murid/mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa secara khusus. Penggunaan istilah itu sendiri, menurut saya, bersifat hiperbolik. Sebab, otak yang membusuk, sejatinya, milik orang yang sudah mangkat. Padahal, dalam wacana “brain rot” yang digunakan selama ini (baca, misalnya, Satrio Pangarso Wisanggeni, Ratna Sri Widyastuti, dan Sri Rejeki, Kompas.id., 28 Juni, 2025), para pengguna media sosial, yang berlebihan, itu masih hidup.


WA Channel
Ikuti Kami
Subscribe
Tinggalkan Balasan