KABUPATEN Timor Tengah Selatan (TTS) selalu punya daya magis bagi siapa pun yang datang. Udara SoE yang sejuk, bentangan bukit-bukit yang mengelilinginya, jeruk keproknya yang harum di pasar, dan wajah-wajah ramah di pinggir jalan seolah memberi kesan bahwa ini tanah yang kaya. Tapi di balik keelokan itu, TTS masih berjuang dengan kemiskinan yang tak hanya soal uang di kantong rakyat, tapi juga soal ketergantungan pada uang dari pusat.

Tahun 2024, pemerintah daerah mengelola anggaran yang terlihat besar yaitu sekitar Rp 1,56 triliun. Namun dari jumlah itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang benar-benar berasal dari kekuatan ekonomi lokal hanya Rp 59 miliar, atau kurang dari separuh target yang ditetapkan sendiri. Artinya, dari setiap seratus rupiah yang dibelanjakan pemerintah, hanya tujuh rupiah yang benar-benar dihasilkan oleh TTS sendiri. Sisanya masih berasal dari dana transfer pusat. Inilah potret ketimpangan fiskal yang membuat banyak daerah seperti berjalan di tempat dengan sibuk mengelola uang, tapi belum benar-benar mandiri.

Padahal TTS bukan daerah yang miskin potensi. Dari pertanian hingga pariwisata, dari hasil alam hingga budaya, semuanya melimpah. Tapi potensi itu seolah masih tertidur. Ekonomi daerah ini sebagian besar digerakkan oleh pertanian, kehutanan, dan perikanan. Sektor-sektor tersebutlah yang menyerap banyak tenaga kerja, tapi hanya tumbuh 1,6% tahun lalu. Petani memang masih menanam, hasil panen tetap datang, tapi nilai tambahnya nyaris tak bergerak. Produk pertanian masih dijual mentah, tanpa olahan, tanpa industri kecil yang kuat. Jeruk Soe tetap harum, tapi keharuman itu berhenti di pasar lokal.