Jakarta, RakyatNTT.ID Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali mencetak alarm serius bagi Indonesia. Data terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat 11.850 kasus kekerasan sepanjang tahun 2025, dengan 1 dari 4 perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual.

Fakta ini diperkuat oleh sistem real-time nasional SIMFONI PPA yang mengumpulkan data dari berbagai provinsi dan kabupaten.

Namun, bagi Ketua DPP Partai Perindo Bidang Pedesaan dan Potensi Kedaerahan, Firda Riwu Kore, angka ini lebih dari sekadar statistik. “Setiap data itu adalah nyawa. Trauma. Anak-anak tumbuh dalam ketakutan. Perempuan kehilangan martabat dalam sunyi,” ungkap Firda dalam pernyataan resminya.

Kekerasan Domestik Bukan Urusan Privat

Firda menegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan masalah domestik semata. Normalisasi kekerasan atas nama budaya atau relasi kuasa merupakan bentuk ketidakadilan struktural. “Selama kita menganggap KDRT urusan pribadi, selama itu pula negara gagal melindungi warga negaranya,” ujarnya.

Ia mengkritisi lemahnya sistem pencatatan yang menyebabkan banyak korban enggan melapor karena takut, malu, atau tidak percaya terhadap perlindungan negara. “Negara belum hadir sepenuhnya sebagai pelindung,” tegas Firda.

Reformasi Sistem Perlindungan Korban KDRT

Partai Perindo menyerukan reformasi sistem pencatatan kekerasan dan perlindungan korban secara lintas sektor — melibatkan layanan kesehatan, pendidikan, kepolisian, dan masyarakat sipil. Firda menekankan pentingnya data yang akurat agar kebijakan tidak bersifat reaktif dan tambal sulam.

Hentikan Menyalahkan Korban

“Budaya menyalahkan korban harus dihentikan. Baik melalui komentar publik, narasi media, maupun institusi,” tambah Firda, tokoh muda dari Nusa Tenggara Timur. Dia mengajak semua pihak untuk tidak sekadar melawan pelaku kekerasan, tetapi juga melawan sistem sosial patriarkis yang memungkinkan kekerasan terus berlangsung.

Perlindungan di Tingkat Lokal, Prioritas Utama

Partai Perindo berkomitmen menjadikan perlindungan perempuan dan anak sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional, khususnya di pedesaan — titik buta perlindungan hukum dan sosial. “Pembangunan tak boleh hanya bicara ekonomi, jika perempuan masih menangis di rumahnya sendiri,” tegas Firda.