KEBIJAKAN sekolah lima hari, sebagaimana dijelaskan oleh Bupati TTU, dimaksudkan bukan hanya memperpanjang durasi belajar di sekolah, tapi juga memberi ruang bagi anak-anak memiliki waktu berkualitas bersama keluarga.

Ide ini mencerminkan keinginan untuk menghubungkan kebutuhan akademik dengan kebutuhan emosional dan sosial dari peserta didik bahwa sekolah bukanlah satu-satunya pusat perkembangan anak, tapi keluarga juga sangat menentukan.

Secara pribadi, saya menyambut baik maksudnya. Dalam era di mana orang tua sibuk bekerja, anak sering pulang malam atau terlibat dalam aktivitas tambahan sehingga interaksi keluarga bisa sangat terbatas. Kebijakan yang menyasar agar anak punya waktu di rumah, waktu istirahat, dan interaksi yang lebih bermakna sangat penting untuk kesehatan mental serta perkembangan karakter anak.

Namun, niat baik ini harus dibarengi kesiapan struktural sehingga tidak menjadi sekadar slogan.

Menurut John Locke yang menekankan bahwa anak-anak perlu diberi waktu untuk bermain dan belajar secara alami, bukan hanya melalui pemisahan sepenuhnya antara “belajar formal” dan “kewajiban”, melainkan mengintegrasikan pengalaman sehari-hari termasuk keluarga dalam pendidikan.

Locke melihat pendidikan bukan semata pengumpulan pengetahuan, tapi pembentukan karakter lewat kebiasaan-kebiasaan kecil dalam kehidupan rumah tangga. Apabila sekolah lima hari dijalankan tanpa memberi jeda yang cukup atau tanpa memperhatikan kemampuan menyesuaikan diri, malah bisa mengganggu keseimbangan yang Locke yakini penting.